HUJAN
Hari-hari ini banyak sekali penulis yang berbicara tentang Hujan.
Hujan nampaknya memberikan suatu pengaruh besar dalam kehidupan. I think si Hujan berhasil menjadi
sangat popular karena hampir setiap hari dibahas oleh banyak sekali orang. Dan
lagi Hujan hampir selalu mampu mengontrol banyak kejadian, keputusan, bahkan
perasaan.
Tidak sedikit orang berdoa dan menanti-nantikan si Hujan setiap
waktu. Tapi, ternyata tidak sedikit juga orang yang berdoa mengutuki dan
menghardik si Hujan supaya jangan turun dan atau berhenti turun. Banyak juga
muda mudi yang senang berhujan-hujanan. Menurut mereka,”It is sexy”. Anak kecil pun
tidak mau kalah, mereka juga senang berhujan-hujanan, to them “Theres’s nothing more excited than to go out, playing under
and through the rain”. Now, coba kamu ingat-ingat dulu masa kecilmu bersama
si Hujan. How did you find it?
Media bagi hujan...
Apa kamu pernah berpikir tentang peran hebat teman kita yang
bernama Media? Setalah saya pikir-pikir, ternyata si Media itu cukup ‘ember’dan
‘dramatis’, terutama Media bermarga Elektronik. Let’s say beberapa videp klip, sinetron atau film-film. Mereka suka
banget mengungkit-ungkit soal Hujan. Mereka juga meracuni pikiran saya tentang
Hujan. Kalau saya ingat-ingat, waktu kecil saya senang sekali bermain bersama
si Hujan. Kalau si Hujan datang, saya menyambutnya dengan meriah. Tetapi semua
berbeda ketika saya beranjak dewasa, saya banyak memilih untuk membatasi dalam
berinteraksi dengan hanya melihat si Hujan dari teras rumah saja, atau dari
balik jendela kamar saya, bahkan saya terpaksa menahan diri untuk tidak bertemu
atau sekedar melihatnya, karena mendengarnya saja sudah cukup menambah pilu,
ngilu, dan linu. Hujan yang dulu sering menghibur saya, sekarang menjadi
pembawa kegalauan nomer satu.Tapi tunggu
dulu!! I have come to a reality bahwa
ternyata yang buat saya merasa sedih ketika si Hujan datang itu karena banyak
banget visualisasi dari kesedihan yang muncul di video klip lagu-lagu yang
sedih, sinetron ato film-film yang pernah saya tonton itu. Mereka berhasil
men-dragged saya sampai-sampai saya selalu menghubungkan hujan sama semua
kesedihan.
Di sisi lain, kalau saya boleh sedikit menghubung-hubungkan
teori hujan dengan apa yang saya mengerti, galau itu datangnya dari kita
sendiri. Sama seperti hujan yang berasal dari air di bumi yang mengalami
penguapan di bumi lalu dibawa ke awan di atas sana dan ketika awannya sudah ‘keberatan’
menanggung uap, maka ‘jatuh’lah si Hujan ke bumi (kembali). I think,
that is what happens to human beings. Kita kadang memproses kesedihan
terlalu jauh, dan menumpuk memori kesedihan kita dalam perasaan yang sebenarnya
rapuh, dan saat itu ketika sudah tak sanggup membendungnya, kegalauan tingkat “HUJAN”
pun bisa mengambil alih perasaan kita. Entah cuman gerimis, hujan lumayan
lebat, hujan lebat sekali, sampai hujan badai. Ketika kita tidak bisa me-maintain
perasaan kita maka apa yang saya katakan tentang media sebagai unsur eksternal
dalam hal ‘kegalauan’ kita, akan berhasil membuat saya (mungkin banyak orang
juga) merasa hujan adalah kemarahan atau kesedihan langit yang ingin dan harus
ditumpahkan ke bumi. Bukan cuman suatu proses alam yang terjadi, dan memaksa
kita untuk kembali mengingat-ingat kesedihan kita di masa lalu.
Coba pikirkan teori hujan, pengaruh media, dan penguasaan
dirimu. Kamu akan tahu, betapa banyak alasan lain untuk bersedih tanpa harus
membawa-bawa si Hujan, dan terlalu banyak juga hal yang asyik dilakukan bersama
si Hujan. Satu lagi, si Media itu sebenarnya tidak punya hak membuat kamu
kecanduan untuk bersedih hati.